Minyak goreng merupakan medium penggoreng
bahan makanan yang berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih dan
menambah nilai kalori bahan pangan. Sebagai penghantar panas minyak akan
mengalami pemanasan yang menyebabkan perubahan fisika-kimia sehingga
berpengaruh terhadap minyak tersebut dan bahan yang digoreng (Djatmiko dan
Enie, A.B., 1985). Menggoreng bahan pangan merupakan metoda pemasakan bahan
pangan (Ketaren, 1986).
Kerusakan minyak selama proses penggorengan
akan mempengaruhi mutu dan nilai dari minyak dan bahan yang digoreng. Pada
minyak yang rusak terjadi proses oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis. Proses
tersebut menghasilkan peroksida yang bersifat toksik dan asam lemak bebas yang
sukar dicerna oleh tubuh (Ketaren, 1986).
Senyawa polimer yang
dihasilkan akibat pemanasan yang berulang-ulang dapat menimbulkan gejala
keracunan antara lain iritasi saluran pencernaan, pembengkaan organ tubuh,
diare, kanker dan depresi pertumbuhan. Selain itu akan timbul rasa tengik
akibat oksidasi yang pengaruhnya tidak diharapkan pada bahan pangan yang
digoreng. Pengaruh tersebut antara lain mengakibatkan kerusakan gizi, tekstur
dan cita rasa (Muchtadi, 1989).
Indikator kerusakan
minyak antara lain adalah angka peroksida dan asam lemak bebas. Angka peroksida
menunjukkan banyaknya kandungan peroksida di dalam minyak akibat proses
oksidasi dan polimerisasi. Asam lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak
bebas yang dikandung oleh minyak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi
dan hidrolisis (Sudarmadji, 1982).
Penentuan angka peroksida. Ke dalam erlenmeyer
30 mL dicampurkan asam asetat glasial dan kloroform (3:2), kemudian sampel
minyak 5 g dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Selanjutnya ditambahkan KI
jenuh 0,5 mL dan dikocok sampai jernih. Setelah 2 menit dari penambahan KI
ditambah 30 mL akuades. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan thiosulfat 0,01N.
Pengerjaan blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan sampel minyak.
Diketahui
bahwa frekuensi menggoreng menyebabkan kenaikan suhu minyak pada akhir
menggoreng. Hal ini disebabkan minyak dipanaskan akan terputus ikatan rantai
karbonnya, sehingga titik asam minyak menurun. Keadaan ini menyebabkan
penerimaan panas oleh minyak menjadi lebih cepat sehingga waktu yang dibutuhkan
saat minyak mulai dipanaskan hingga mencapai titik asap menjadi lebih cepat
pada frekuensi menggoreng berikutnya. Menurut Winarno(1992) radiasi radiasi
energi tinggi, energi panas, katalis logam atau enzim dapat menyebabkan
lemak/minyak mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Sedangkan
titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dan bertambah
panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
Frekuensi
menggoreng mengakibatkan perubahan sifat fisika minyak, minyak menjadi lebih
kental, terdapat bau dan rasa yang tidak diinginkan dan warna minyak menjadi
lebih keruh.
Terjadinya kenaikan angka peroksida, berarti pada minyak
tersebut terjadi reaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan terjadi reaksi
berantai yang terus menerus menyediakan radikal bebas yang menghasilkan
peroksida lebih lanjut.
Daftar Pustaka
Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam
Lemak Bebas Pada Minyak Kedelai Dengan Variasi Menggoreng. JSKA.Vol.VI.No.3.Tahun.2003
0 komentar:
Posting Komentar