Senin, 14 Mei 2012

Neisseria meningitidis


A.    Morfologi
Kerajaan:
Filum:
Kelas:
Ordo:
Famili:
Genus:
Spesies:
Neisseria meningitidis
        
Neisseria merupakan cocus gram negatif yang biasanya berpasangan. Secara umum ciri-ciri neisseriae adalah bakteri gram negatif, diplokokus non motil, berdiameter mendekati 0,8 μm. Masing-masing cocci berbentuk ginjal; ketika organisme berpasangan sisi yang cekung akan berdekatan. Bakteri ini adalah patogen pada manusia dan biasanya ditemukan bergabung atau di dalam sel polimorfonuklear. Pada gonococci memiliki 70% DNA homolog, tidak memiliki kapsul polisakarida, memiliki plasmid. Gonococci paling baik tumbuh pada media yang mengandung substansi organik yang kompleks seperti darah yang dipanaskan, hemin, protein hewan dan dalam ruang udara yang mengandzung 5% CO2. Gonococci hanya memfermentasi glukosa dan berbeda dari neisseriae lain. Gonococcus biasanya menghasilkan koloni yang lebih kecil dibandingkan neisseria lain.

Neisseria meningitidis merupakan penyebab penyakit meningokokus yaitu suatu penyakit berjangkit. Neisseria meningitidis(meningokokus) merupakan bakteri kokus gram negative yang secara alami hidup di dalam tubuh manusia. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meningitis ),infeksi darah dan infeksi berat lainnya pada dewasa dan anak-anak. Neisseria meningitidis (meningokokus) merupakan bakteri coccus gram negative yang secara alami hidup di dalam tubuh manusia. Meningokokus bisa menyebabkan infeksi pada selaput pembungkus otak dan medulla spinalis (meningitis), infeksi darah dan infeksi berat lainnya pada anak-anak maupun dewasa

Gejala apabila terkena bakteri Neisseria meningitidis adalah waktu terekspos sampai terkena pnyakit 2 sampai 10 hari. Gejala terkena penyakit Neisseria meningitidis adalah demam mendadak dan kombinasi sakit kepala, leher pegal, mual,muntah, mengantuk dan ruam. Tapi kebanyakaan penyakit ini menyerang bayi dan anak-anak.

B. Struktur antigen bakteri Neisseria meningitidis
         Delapan grup Neisseria meningitidis, yaitu A, B, C, D, X, Y, Z, Ditentukan atas dasar reaksi aglutinasi. Organisme dalam grup A, B, dan C merupakan penyebab penyakit yang utama di klinik. Antigen kapsuler grup A terdiri dari N-aseetil dan O-asetil inosamin fosfat. Antigen B dan C terdiri dari polimer asam neuraminat (sialic acid). Antigen kapsuler dari grup-grup meningokokus lainnya belum diketahui sifat-sifatnnya. Identifikasi dan purifikasi antigen polisakarida grup A, B, C telah menghasilkan kesimpulan bahwa antigen ini dapat dipakai sebagai vaksin.
         Selanjutnya grup B ini masih dapat dibedakan lagi dengan teknik bakterisid menjadi paling sedikit 10 serotip yang berbeda. Teknik serotip bakterisid telah dipakai secara epidemiologic untuk memeriksa epidemic yang disebabkan oleh kuman meningokokus grup C. reaksi-reaksi antibody bakterisid dengan beberapa strain Neisseria gonorrhoe pernah dilaporkan. Pada saat ini telah ditemukan teknik identifikasi strain meningokokus penyebab epidemic ,namun peranannya dalam imunitas dan pembuatan vaksin masih tetap kurang jelas.
         Selain antigen polisakarida kapsuler, masih ada antigen somatic, yang berupa fraksi nukleoprotin dan antigen karbohidrat somatic.zat-zat ini secara kimiawi belum dapat ditentukan dan nampaknnya biasa ditemukan dan nampaknnya biasa ditemukan pada Neisseria dalam suatu serogrup yang spesifik. Mungkin antigen-antigen ini ikut mengambil bagian dalam peristiwa reaksi silang yang terlihat dalam tes agluinasi.

C.   SEJARAH
Penyakit yang disebabkan oleh Neisseria meningitidis pertama kali ditemukan  pada tahun 1805 di  geva,swiss dan disebut sebagai meningitis epimika. Satu tahun kemudian terjadi wabah medfield, Massachusetts, yang merupakan wabah yang terjadi pertama kali di amerika utara. Human penyebabnya baru ditemukan pada tahun 1887, waktu  weichselbaum menemukan diplokokus negative gram dalam likuor serebrospin penderita.

D.   EPIDEMOLOGI
Penyakit yang disebabkan oleh meningokokus tersebar luas di dunia,dapat bersifat sporadic epidemic. Epidemic luas  Neisseria meningitidis “ terjadi secara teratur di negaara seperti afrika. Gelombang terbesar “ Neisseria meningitidis “ wabah yang pernah tercatat adalah afrika barat pada tahun 1996. Ada diperkirakan 250.000 kasus dan 25.000 orang meninggal.
Hal ini disebabkan orang dewasa pembawa kuman (carrier)dalam naasofaaring merupakan sumber penularan penting kuman meningokokus dan juga merupakan reservoir pencernaan kuman  peralatan rumah tangga. Penyakit ini paling banyak ditemukan anak-anak berumur antara 6-24 bulan
IMUNITAS
Titer antibody terendah ditemukan pada bayi berumurr 6-24 bulan, hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa insidens puncak penyakit meningokokus sporadic juga terdapat pada usia tersebut.
Daya tahan terhadap infeksi dicerminkaan oleh adannya IgG,IgM dan IgA dalam serum. Pembawa kuman (carrier)menunnjukkan perkembangan titer antibody dalam waktu 2 minggu sejak mulainnya carrier state.
E. PATOGENESIS DAN MANIFESTASI KLINIK
Meningokokus masuk ke dalam tubuh lewat traktus aspiratorius bagian atas dan berkembang biak dalam selaput nasofaring. Penyebaran meningokokus lewat aliran darah mengakibatkan terjadinnya lesi metastetik di berbagai tempat di badan, misalnnya kulit,selaput otak, persendian  dan paru-paru.manifestasi kliniknnya tergantung kepada lokasi metastasis.
Penyakit yang timbul dapat berupa demam ringan yang dapatdisertai dengan faringitis tanpaa disertai manifestasi spesifik lainnya dari infeksi meningokokus.  Penyakit sistemik yang ditandai demam dan prostasi leebih mudah diketahui.tidak jarang timbul suatu macula eritematosa, yang disusun dengan munculnnya suatu pethikiae yang terus berkembang menjadi suatu ekhimosis. Purpura siklusitik inididahului oleh suatu emboli meningokokuss dan dianggap suatu tanda khas untuk penyakit yang berat. Meningokoksemia dapat disertai meningitis, perikarditis, dan penyakit padaa organ-organ lainnya.
F. DIAGNOSIS LABORATORIUM
Infeksi meningokokus terutaamaa didiagnosis dengan cara identifikasi Neisseria meningitidis dalam bahan yang didapat dari penderita. Jika bahan berupa eksudat ,misalnnya likuor serebrospinalis, maka dapat dibuat diagnosis presumptive yang cepat dengan cara menemukan diplokokus negative gram dalam sediaan apus. Kuman kadang-kadang juga dapat ditemukan dalam sediaan apus yang berasal dari petekhiae. Dalam kasus septicemia, kuman juga daapaat  ditemukan dalam sediaan apus darah tepi.
Bahan pemeriksaan dapat berupa darah, likuor seebrospinalis, bahan dari pethekiae, cairan sendi, usap tenggorok atau nasofaring. Medium selektif  Thayer-martin dipergunakan untuk pemeriksaan bahan yang mengandung bermacam- macam bakteri, sedangkan bahan-bahaan yang berasal dari darah,likuor, atau bahan-bahan yang secara normal steril, ditanam dalam kaldu trypticase soy atau pelat agar coklat dalam cukup CO2.
Counter current immunooelecthroporesis adalah suatu tekhnik atau cara yang dipakai untuk identifikasi polisakarida meningokokus dalam darah, likuor dan cairan sendi secara cepat. Adannya antibody serum dalam penderita dapat diketahui dengan hemaglutinasi hambaatan pasif atau dengan radioactive antigen biding test merupakan cara yang paling sensitive saat ini.

G.   Pengobatan
Orang yang terkena bakteri Neisseria meningitidis dianjurkan memperoleh bantuan medis dengan segera. Pasien akan memperlukan perawatan di rumah sakit. Kalau tidak dapat diberi obat penicillin untuk mengobati infeksi terkena bakteri Neisseria meningitidis, karena bakteri ini sensitive terhadap penicillin dengan kosentrasi hambatan minimum 0,3 mikrogram/ml.. penicillin Gin aqua diberikan secara intravena dengan dosis tinggi. Pada penderita yang sensitive penicillin, kloramfenikol merupakan terapi alternative yang efektif. Selain itu perlu juga dihindarkan terjadinnya koagulasi intravaskuler yang menyebar.
H. Pencegahan
Sebelum timbulnnya resistensi , sulfonamide dapat memberantas kuman ini dari nasofaring penderita. Pemakaian penisilin untuk kuman yang sensitive ternyata gagal dalam keadaan carier state. jika dikehendaki  pemberian obat profilaksis, dapat dianjurkan pemberian rifampin dan minosiklin, kedua-keduannya efektif untuk eradiksi carier state. Pengobatan dengan rifampin dalam jangka pendek dapat menghilngkan Neisseria meningitidis dari nasofaring, tetapi dalam beberapa minggu seesudahnnya strain-strain yang resisten terhadap rifampin dapat kembali ke naasofaring.
Individu yang kemungkinan besar mudah terkena infeksi adalah :
1.      Anak-anak ,terutama yang berusia kurang dari 6 tahun yang tinggal serumah dengan penderita atau yang tempat tinggalnnya sering di diami penderita.
2.      Anggota militer yang tinggal sebarak dalam militer karena jumlah pembawa bakteri meningkat 70 atau 80%. Meskipun telah diperiksa rifampin atau minosiklin untuk profilaksis, namun hal ini tidak berarti bahwa contact person tersebut tidak memerlukan observasi lagi.

Pencegahan Neisseria meningitidis sendiri dapat dilakukan yaitu dengan cara jangan minum-minuman yang sama dengan orang yang terkena penyakit Neisseria meningitidis. Orang yang dekat harus bertemu dengan dokter dengan segera jika gejala muncul., dan mungkin minum antibiotic tertentu yang sudah dijelaskan diatas.
        Pencegahan dapat juga diberikan dengan pemberian imunisasi yaitu dengaan memberikan vaksin meningokokus grup A dan C .vaksin tersebut terdiri dari polisakarida meningokokus tipe spesifik yang telah dimurnikan. Dosis tunggal 50 mikrogram dapat menghasilkan respons serologic 90% pada orang dewasa dan anak-anak yang sudah besar. Pengembangan vaksin tipe spesifik untuk meningokokus grup A dan C merupakan bantuan yang nyata bagi kedokteran pencegahan.kuman grup B masih merupakan persoalan, karena polisakaridannya merupakan imunogen yang sangat lemah. Kemungkinan teoritis bahwa imunisasi dengan polisakarida grup A dan atau C Akan mencgah penyakit dengan serogrup yang sama ,tetapi membiarkan seerogrup lainnya menimbulkan epidemic, maka masih diharapkan pengalaman-pengalaman tes dengan vaksin yang ada.

hepatitis autoimun


PENDAHULUAN

Hepatitis autoimun merupakan keadaan yang kronis. Menyebabkan kerusakan jaringan hati yang parah (karena adanya antibodi yang menyerang dan menghancurkan sel-sel hati) disertai peradangan yang cenderung berkembang menjadi sirosis dan akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi hati.
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Penyakit ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
Hepatitis autoimun dapat terjadi pada mereka yang memiliki cacat bawaan pada sistem kekebalan tubuhnya  yang dipicu oleh bahan-bahan kimia atau virus. Bahan-bahan kimia dan virus merupakan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada keadaan ini, sistem kekebalan penderita bereaksi tidak normal terhadap zat-zat kimia dan virus, akibatnya reaksi kekebalan yang timbul rusak sehingga terjadi penyerangan terhadap sel-sel hati sendiri.

       A.    DEFINISI
Hepatitis autoimun (AIH), yang dahulu disebut sebagai lupoid hepatitis atau hepatitis kronik autoimun, adalah suatu gangguan hati kronis nekroinflamatori yang belum diketahui penyebabnya, dengan karakteristik secara histologik berupa infiltrasi sel mononuklear di saluran portal dan secara serologis adanya autoantibodi terhadap antigen hati yang spesifik dan yang tidak spesifik serta adanya peningkatan kadar immunoglobulin G (igG) serum (Krawitt, 1996;Sukerek, 2002).
Hepatitis autoimun merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya kematian sel hati, pembentukan jaringan ikat yang disertai pembentukan benjolan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke hati dan mengganggu fungsi hati. Sistem kekebalan tubuh biasanya membuat antibodi untuk menyerang bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada hepatitis autoimun,sistem kekebalan tubuh membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan sirosis.

      B.     ANGKA PREVALENSI
 Penyakit hepatitis autoimun termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat, frekuensi hepatitis autoimun diantara penderita dengan penyakit hati kronis berkisar 11-23 %. Di Eropa Barat prevalensinya diperkirakan 0,1-1,2 kasus per 100.00 individu, dengan insidens 0,69 kasus per 100.000 orang per tahun. Di jepang, prevalensinya 0,08-0,015 per 100.000 orang. Rasio insidens dari AIH-1 dan AIH-2 adalah 1,5-2 : 1 di Eropa dan Kanada, dan 6-7 : 1 di Amerika Utara dan Selatan serta Jepang.
Penyakit ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
 Wanita lebih sering terkena daripada pria (70-80 % penderita adalah wanita). Terjadi pada dewasa dan anak-anak dengan puncak insidens pada usia 10-20 tahun dan pada usia 45-70 tahun. Separuh dari individu yang terkena lebih muda dari usia 20 tahun dengan puncak insidens pada gadis yang belum menstruasi (premenstrual). Hepatitis autoimun juga dilaporkan terjadi pada bayi. Penderita dengan AIH-2 cenderung lebih muda dan 80 % nya adalah anak-anak (Raghuraman UV, 2002; Sukerek HH, 2002).
 Sekarang hepatitis autoimun dikenal sebagai kelainan multisistem yang dapat terjadi pada wanita atau pria pada semua umur. Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati yang lain (mis. hepatitis virus kronik), juga bisa dicetuskan oleh virus hepatitis (misal hepatitis A) dan bahan kimia (misal minosiklin) (Raghuraman UV,2002).

     C.    PATOFISIOLOGI
 Penyebab dari hepatitis autoimun tidak diketahui. Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus terjadinya proses autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri, bahan kimia, obat, dan faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai pencetus hepatitis autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr(Manns,1995;Manns,1999)
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Suatu model spekulatif dari imunopatogenesis hepatitis autoimun menunjukkan bahwa secara genetik, infeksi virus pada hati yang bersifat hepatotropik atau non-hepatotropik mengakibatkan suatu respon sel T yang menyebabkan hepatotoksisitas dan menstimulasi respon sel B terhadap virus-mediated surface neoantigens. Selanjutnya NK cells dan MHC-unrestricted CD8+ killer cells akan mengenali dan membunuh autoantibody-coated liver cells oleh antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga terjadi apoptosis hepatosit (Mabee, 2000).
Bukti menyebutkan bahwa kerusakan hati pada penderita dengan hepatitis autoimun merupakan hasil dari serangan cell mediated autoimun. Serangan ini ditujukan pada hepatosit yang secara genetik mudah terpengaruh/rentan. Gambaran aneh dari human leukocyte antigen (HLA) kelas 2 pada permukaan hepatosit memfasilitasi presentasi sel hati normal dipilih untuk proses antigen sel. Aktivasi sel ini , secara bergiliran, menstimulasi ekspansi klonal dari autoantigen-sensitized cytotoxic T lymphocytes. T limfosit sitotoksik menginfiltrasi jaringan hati, mengeluarkan cytokines dan merusak sel hati (Raghuraman, 2002).
Penyebab dari gambaran aneh dari HLA masih belum jelas. Ini mungkin dicetuskan oleh faktor genetik, infeksi virus (mis. hepatitis akut A atau B, virus Epstein-Barr) dan bahan kimia (mis. interferon, melatonin, alfa metildopa, oksifenisatin, nitrofurantoin, asam tienilik). Reseptor asialoglikoprotein dan sitokrom mono-oksigenase P-450 IID6 ditengarai sebagai pencetus autoantigen (Raghuraman, 2002).
Pendapat terbaru tentang mekanisme kerusakan hati autoimun adalah secara tak langsung melibatkan interaksi antara CD4+ T limfosit dengan suatu self-antigenic peptide (Sukerek, 2002).
Beberapa penderita secara genetik rentan untuk menjadi hepatitis autoimun. Kondisi ini berhubungan dengan komplemen alel C4AQO dan HLA halotipe B8, B14, DR3, DR4 dan Dw3. Delesi gen C4A dihubungkan dengan timbulnya hepatitis autoimun pada usia muda. Penderita dengan HLA DR3 positif lebih sering menjadi penyakit agresif, terjadi pada usia yang lebih muda, kurang responsive terhadap terapi medik sehingga lebih sering memerlukan tranplantasi hati. Sedangkan pada penderita dengan HLA DR4 positif lebih sering timbul dengan manifestasi ekstrahepatik (Raghuraman, 2002;Sukerek, 2002).
Secara genetik juga dilaporkan tentang defiensi C4 parsial. C4 diketahui berperan pada netralisasi virus. Kegagalan mengeliminasi virus dapat menyebabkan terjadinya reaksi imun melawan antigen pada sel yang terinfeksi. Diantara virus-virus yang dapat mencetuskan reaksi ini adalah rubella, Epstein-Barr dan hepatitis A,B dan C (Sukerek, 2002).
Obat-obatan juga dapat mencetuskan terjadinya hepatitis autoimun. Namun tak satupun obat yang diidentifikasi sebagai penyebab hepatitis autoimun (Manns, 1999).

      D.    GEJALA KLINIS
 Hepatitis autoimun memiliki kecenderungan menimbulkan ciri-ciri yang berbeda pada tiap orang yang menderitanya. Pada mereka yang mengalami gejala ringan, kecil kemungkinannya berkembang menjadi sirosis hati. Pada penderita hepatitis autoimun yang berat, sekitar 40 % penderita mengalami kematian dalam waktu 6 bulan jika tidak diobati. Untungnya, keadaan yang parah hanya terjadi 20 % dari kasus yang terjadi. Penderita yang mengalami hepatitis autoimun yang ringan biasanya akan sembuh spontan. Sedangkan mereka yang mengalami perkembangan menjadi sirosis hati akan menimbulkan komplikasi yang lain yaitu kanker hati.
Gejala yang ditimbulkannya mirip dengan gejala hepatitis virus kronis. Gejala yang timbul perlahan-lahan atau mendadak tiba-tiba yang awalnya mirip hepatitis akut. Hepatitis autoimun ini terbagi atas beberapa kelompok yang berbeda, yaitu:
    1. Hepatitis autoimun tipe I, mirip penyakit lupus. Pada pemeriksaan darah ditemukan ANA dan peningkatan kadar globulin. Sering dijumpai pada wanita muda hingga usia pertengahan dengan keluhan lesu, hilangnya nafsu makan, jerawat, nyeri sendi dan kuning.

    2. Hepatitis autoimun tipe II, biasanya pada anak-anak dan sering dijumpai pada penduduk di daerah Mediterania. Pada kelainan tipe ini, dijumpai anti-LKM antibodi pada tubuh penderita. Hepatitis autoimun tipe II terbagi lagi atas 2 golongan, yang pertama berdasarkan reaksi autoimun ( IIa ) dan yang lainnya (IIb) adalah reaksi autoimun yang berkaitan dengan hepatitis C.
a.       Tipe IIa banyak ditemukan pada wanita muda. Pada kelainan ini ditemukan peningkatan kadar globulin di dalam darah penderita dan memberikan respon yang baik terhadap steroid.
b.      Tipe IIb, tipe ini berkaitan dengan infeksi hepatitis C ; cenderung terjadi pada pria-pria berusia lanjut dan sering ditemukan di negara-negara di daerah Mediterania. Pada tipe ini, kadar globulin darah normal dan memberikan respons yang baik terhadap interferon.
Selain itu ada beberapa gejala lainnya yang timbul pada wanita muda penderita hepatitis autoimun, diantaranya adalah:
  • jerawat.
  • terhentinya siklus menstruasi(amenorea).
  •  nyeri sendi.
  •  pembentukan jaringan parut di paru-paru.
  •  peradangan kelenjar tiroid dan ginjal.
  • anemia.


       E.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah penting untuk mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran awal dapat hanya berupa keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga 34% pasien tidak mengeluh apapun saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula ditemukan hepatomegali, splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.
Tes laboratorium untuk mendiagnosa dan memantau hepatitis dapat dilakukan dengan cara:
·         USG abdomen
·         Autoimmune darah serologi penanda virus Hepatitis
·         Tes fungsi hati
·         Biopsi hati untuk memeriksa kerusakan hati
·         Paracentesis jika cairan dalam abdomen Andan
Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat memberikan gambaran yang asimtomatis. Umumnya, pasien dengan HAI adalah seorang perempuan, meski dalam kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan pada lelaki. Mereka umumnya memiliki kadar serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin aminotransferase (SGPT) yang abnormal, meningkatnya kadar gamma globulin, dan gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface hepatitis atau sirosis dengan inflamasi ringan.
Gambaran lain dari HAI adalah adanya autoantibodi pada sirkulasi darah, hipergamaglobulinemia, dan perubahan mikroskopis pada  jaringan hati berupa  interfacehepatitis, infiltrasi sel plasma dan regenerasi sel-sel hati rosettes.
Gambaran Histologik
Tanda khas histologik (histologic hallmark) dari HAI adalah ditemukannya gambaran interface hepatitis atau dikenal juga dengan sebutan nekrosis piecemeal. Istilah ini menggambarkan adanya  gangguan pada lempeng pembatas dari saluran portal oleh infiltrasi sel-sel radang. Meski begitu, gambaran interface hepatitis ini tidak spesifik untuk hepatitis autoimun karena dapat juga ditemukan pada hepatitis virus akut ataupun kronik.

Sabtu, 05 Mei 2012

PLASMODIUM


Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh protozoa. Protozoa yang menginfeksi tersebut  merupakan golongan Plasmodium. Proses penularannya melalui gigitan nyamuk Anopheles. Protozoa parasit jenis ini banyak sekali tersebar di wilayah tropik, misalnya di Amerika, Asia dan Afrika.
Ada empat tipe plasmodium parasit yang dapat menginfeksi manusia,yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.  Plasmodium  yang seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax.
Malaria merupakan penyakit protozoa dari genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk.
      Vektor malaria adalah nyamuk Anopheles. Namun tidak semua jenis nyamuk  Anopheles dapat menjadi vektor malaria.
      Di indonesia, hasil survei yang dilakukan oleh unit kerja Serangga Vektor Penyakit menemukan 46 jenis nyamuk Anopheles dan dari jumlah tersebut hanya 20 spesies yang merupakan vektor malaria (Anonim,1985).
Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah. Pasien yang terinfeksi oleh malaria akan menunjukan gejala awal menyerupai penyakit influenza, namun bila tidak diobati maka dapat terjadi komplikasi yang berujung pada kematian.
Penyakit malaria  terjadi di daerah tropis dan subtropis di mana parasit Plasmodium dapat berkembang baik begitu pula dengan vektor nyamuk Anopheles. Daerah selatan Sahara di Afrika dan Papua Nugini di Oceania merupakan tempat-tempat dengan angka kejadian malaria tertinggi.
Berdasarkan data di dunia, penyakit malaria membunuh satu anak setiap 30 detik. Sekitar 300-500 juta orang terinfeksi dan sekitar 1 juta orang meninggal karena penyakit ini setiap tahunnya. 90% kematian terjadi di Afrika, terutama pada anak-anak.


A.Epidemiologi
            Organisasi dunia (WHO) memperkirakan sekitar 41% populasi dunia dapat terinfeksi malaria. Setiap tahun terdapat 300-500 juta penderita mengalami penyakit serius dan sekurang-kurangnya 1-2.7 juta diantaranya meninggal karena malaria. Malaria tersebar di 100 negara miskin di daerah tropis dan subtropis seperti india, amerika selatan dan tengah, afghanistan, sri lanka, thailand, indonesia, vietnam, kamboja, cina,filipina, meksiko, dan afrika. 

B. Taksonomi
      Ada 4 jenis malaria yang menginfeksi manusia:
  1. Plasmodium falciparum à malaria tropica
  2. Plasmodium vivax à malaria tertiana
  3. Plasmodium malariae à malaria quartana
  4. Plasmodium ovale à malaria ovale
Diperkirakan,
      55% terinfeksi Plasmodium vivax (iklim sedang).
      40% terinfeksi Plasmodium falciparum (iklim tropis dan subtropis).
      1-5% terinfeksi Plasmodium malariae (iklim tropis).
      <1% terinfeksi Plasmodium ovale. 

C. Beberapa bentuk manifestasi penyakit malaria

- Malaria tertiana, disebabkan oleh Plasmodium vivax, menyebabkan penderita akan merasakan demam muncul setiap hari ketiga.
- Malaria quartana, disebabkan oleh Plasmodium malariae, penderita akan merasakan demam setiap hari keempat.
- Malaria serebral, disebabkan oleh Plasmodium falciparum, penderita akan mengalami demam tidak teratur dengan disertai gejala terserangnya bagian otak, bahkan memasuki fase koma dan kematian yang mendadak.
- Malaria pernisiosa, disebabkan oleh Plasmodium vivax, gejala dapat timbul sangat mendadak, mirip Stroke , koma disertai gejala malaria yang berat.

D. Siklus hidup
Fase seksual (schizogoni) dari plasmodium terjadi pada tubuh intermediet host. Sedangkan fase aseksual (sporogoni) terjadi pada tubuh nyamuk. Bentuk infektif dari plasmodium ini adalah stadium sporozoit. Masa inkubasi normal antara 7-30 hari. Pada Plasmodium falciparum masa inkubasi lebih panjang. Sedangkan pada Plasmodium malariae masa inkubasinya lebih singkat. Plasmodium ini dapat menginfeksi manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles sp dan juga melalui suntikan, transfusi, dan transplasenta.

1.      Fase sporogoni
Di dalam tubuh nyamuk ini terlihat Plasmodium melakukan reproduksi secara seksual. Pada tubuh nyamuk, spora berubah menjadi makrogamet dan mikrogamet, kemudian bersatu dan membentuk zigot yang menembus dinding usus nyamuk. Di dalam dinding usus tersebut zigot akan berubah menjadi ookinetàookistaàsporozoit, kemudian bergerak menuju kelenjar liur nyamuk. Sporozoit ini akan menghasilkan spora seksual yang akan masuk dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk.
2.      Fase schizogoni
    Setelah tubuh manusia terkena gigitan nyamuk malaria, sporozoit masuk dalam darah manusia dan menuju ke sel-sel hati. Di dalam hati ini sporozoit akan membelah dan membentuk merozoit, akibatnya sel-sel hati banyak yang rusak. Selanjutnya, merozoit akan menyerang atau menginfeksi eritrosit. Di dalam eritrosit, merozoit akan membelah diri dan menghasilkan lebih banyak merozoit. Dengan demikian, ia akan menyerang atau menginfeksi pada eritrosit lainnya yang menyebabkan eritrosit menjadi rusak, pecah, dan mengeluarkan merozoit baru. Pada saat inilah dikeluarkan racun dari dalam tubuh manusia sehingga menyebabkan tubuh manusia menjadi demam. Merozoit ini dapat juga membentuk gametosit apabila terisap oleh nyamuk (pada saat menggigit) sehingga siklusnya akan terulang lagi dalam tubuh nyamuk, demikian seterusnya.

E. Gejala malaria
 Biasanya berlangsung 6-10 jam dan terdiri dari tiga tingkatan (CDC,2004c), yaitu:
  1. Tingkatan dingin (chilling). Merupakan dingin yang penuh sensasi, badan penderita sampai gemetar.
  1. Tingkatan panas (hot). Biasanya terjadi demam, sakit kepala, dan muntah.
  1. Tingkatan berkeringat (sweating).
Pada fase ini penderita berkeringat, kemudian kembali ke suhu normal, dan kelelahan.
Secara umum penderita malaria dapat menunjukkan kombinasi dari gejala-gejala malaria. Untuk Plasmodium falciparum dapat pula melibatkan penyakit kuning, pembesaran hati, dan peningkatan kecepatan pernapasan.

F. Penegakan Diagnosa
Untuk menegakkan diagnosa adanya parasit ini, dapat dilakukan pembuatan preparat apusan darah. Kemudian mengamati morfologi eritrosit dengan mikroskop.
      Pada preparat darah tepi akan tampak
Ø   Plasmodium falciparum
            Eritrosit tidak membesar, kromatin ganda, sitoplasma tipis.
Ø  Plasmodium vivax
            Eritrosit membesar,  kromatin 1 buah besar, sitoplasma tebal.

G. Tanda-tanda dan Gejala penyakit malaria
  1. Tanda Penyakit Malaria dimulai dengan dingin dan sering sakit kepala. Penderita penyakit malaria menggigil atau gemetar selama 15 menit sampai satu jam.
  2. Dingin diikuti demam dengan suhu 40 derajat atau lebih. Penderita penyakit malaria lemah, kulitnya kemerahan dan menggigau. Demam berakhir serelah beberapa jam.
  3. Penderita penyakit malaria mulai berkeringat dan suhunya menurun. Setelah serangan itu berakhir, penderita merasa lemah tetapi keadaannya tidak mengkhawatirkan.


 
 Untuk mengurangi penyebaran tak terkendali dari penyakit ini, dapat dilakukan pencegahan penyakit malaria dengan Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN), berusaha menghindarkan diri dari gigitan nyamuk, atau upaya pencegahan dengan pemberian obat anti malaria bila mengunjungi daerah endemik malaria.Pencegahan  ini dapat dilakukan terhadap ketiga faktor:
     a)      Manusia (sebagai hospes)
      Pendidikan  kesehatan tentang pencegahan dan pengenalan malaria.
      Pemberian fasilitas untuk kesembuhan penderita malaria.
      Menggunakan obat anti nyamuk(reppelent) atau kelambu.
      Meminum profilaksis jika bepergian ke daerah endemik malaria.

     b)      Plasmodium (sebagai agen)
      Pemberian obat-obatan seperti:
  1. Kina
  2. Cloroquine
  3. Primaquine
  4. Fansidar
  5. Mefloquine
  6. Proguanil
  7. Tetracylin
     c)      Anopheles (sebagai vektor)
      Membasmi larva: pemberian larvasida (malariol).
      Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
      Menghilangkan penampungan yang berpotensi sebagai tempat berkembang biak nyamuk.
      Membunuh nyamuk dewasa dengan menggunakan insektisida.


DAFTAR PUSTAKA

Sembel, Dance T. 2009. Entomologi kedokteran. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Sandjaja, Berdardus. 2007. Parasitologi Kedokteran. Protozoologi Kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.