PENDAHULUAN
Hepatitis autoimun merupakan keadaan yang kronis. Menyebabkan kerusakan
jaringan hati yang parah (karena adanya antibodi yang menyerang dan
menghancurkan sel-sel hati) disertai peradangan yang cenderung berkembang
menjadi sirosis dan akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi hati.
Studi
awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan
imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini
menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen
permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Penyakit
ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang
memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang
Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun
lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
Hepatitis autoimun dapat terjadi pada mereka yang memiliki cacat bawaan pada sistem kekebalan tubuhnya yang dipicu oleh bahan-bahan kimia atau virus.
Bahan-bahan kimia dan virus merupakan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada
keadaan ini, sistem kekebalan penderita bereaksi tidak normal terhadap zat-zat
kimia dan virus, akibatnya reaksi kekebalan yang timbul rusak sehingga terjadi
penyerangan terhadap sel-sel hati sendiri.
A. DEFINISI
Hepatitis
autoimun (AIH), yang dahulu disebut sebagai lupoid hepatitis atau hepatitis
kronik autoimun, adalah suatu gangguan hati kronis nekroinflamatori yang belum diketahui
penyebabnya, dengan karakteristik secara histologik berupa infiltrasi sel
mononuklear di saluran portal dan secara serologis adanya autoantibodi terhadap
antigen hati yang spesifik dan yang tidak spesifik serta adanya peningkatan
kadar immunoglobulin G (igG) serum
(Krawitt, 1996;Sukerek, 2002).
Hepatitis
autoimun merupakan
penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya kematian sel hati,
pembentukan jaringan ikat yang disertai pembentukan benjolan. Hal ini dapat
menyebabkan gangguan aliran darah ke hati dan mengganggu fungsi hati. Sistem
kekebalan tubuh biasanya membuat antibodi untuk menyerang bakteri, virus, dan
kuman lainnya. Pada hepatitis autoimun,sistem kekebalan tubuh membuat antibodi
terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan sirosis.
B. ANGKA PREVALENSI
Penyakit hepatitis autoimun termasuk penyakit
yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat, frekuensi hepatitis autoimun
diantara penderita dengan penyakit hati kronis berkisar 11-23 %. Di Eropa Barat
prevalensinya diperkirakan 0,1-1,2 kasus per 100.00 individu, dengan insidens
0,69 kasus per 100.000 orang per tahun. Di jepang, prevalensinya 0,08-0,015 per
100.000 orang. Rasio insidens dari AIH-1 dan AIH-2 adalah 1,5-2 : 1 di Eropa
dan Kanada, dan 6-7 : 1 di Amerika Utara dan Selatan serta Jepang.
Penyakit
ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang
memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang
Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun
lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
Wanita lebih sering terkena daripada pria
(70-80 % penderita adalah wanita). Terjadi pada dewasa dan anak-anak dengan
puncak insidens pada usia 10-20 tahun dan pada usia 45-70 tahun. Separuh dari
individu yang terkena lebih muda dari usia 20 tahun dengan puncak insidens pada
gadis yang belum menstruasi (premenstrual). Hepatitis autoimun juga dilaporkan
terjadi pada bayi. Penderita dengan AIH-2 cenderung lebih muda dan 80 % nya
adalah anak-anak (Raghuraman UV, 2002; Sukerek HH, 2002).
Sekarang hepatitis autoimun dikenal sebagai
kelainan multisistem yang dapat terjadi pada wanita atau pria pada semua umur.
Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati yang lain (mis.
hepatitis virus kronik), juga bisa dicetuskan oleh virus hepatitis (misal
hepatitis A) dan bahan kimia (misal minosiklin) (Raghuraman UV,2002).
C. PATOFISIOLOGI
Penyebab dari hepatitis autoimun tidak
diketahui. Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus
terjadinya proses autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri,
bahan kimia, obat, dan faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap
sebagai pencetus hepatitis autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A,
hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, herpes simpleks tipe 1 dan virus
Epstein-Barr(Manns,1995;Manns,1999)
Studi
awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan
imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini
menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen
permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Suatu
model spekulatif dari imunopatogenesis hepatitis autoimun menunjukkan bahwa
secara genetik, infeksi virus pada hati yang bersifat hepatotropik atau
non-hepatotropik mengakibatkan suatu respon sel T yang menyebabkan
hepatotoksisitas dan menstimulasi respon sel B terhadap virus-mediated surface
neoantigens. Selanjutnya NK cells dan MHC-unrestricted CD8+ killer cells akan
mengenali dan membunuh autoantibody-coated liver cells oleh antibody-dependent
cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga terjadi apoptosis hepatosit (Mabee,
2000).
Bukti
menyebutkan bahwa kerusakan hati pada penderita dengan hepatitis autoimun
merupakan hasil dari serangan cell mediated autoimun. Serangan ini ditujukan
pada hepatosit yang secara genetik mudah terpengaruh/rentan. Gambaran aneh dari
human leukocyte antigen (HLA) kelas 2 pada permukaan hepatosit memfasilitasi
presentasi sel hati normal dipilih untuk proses antigen sel. Aktivasi sel ini ,
secara bergiliran, menstimulasi ekspansi klonal dari autoantigen-sensitized
cytotoxic T lymphocytes. T limfosit sitotoksik menginfiltrasi jaringan hati,
mengeluarkan cytokines dan merusak sel hati (Raghuraman, 2002).
Penyebab
dari gambaran aneh dari HLA masih belum jelas. Ini mungkin dicetuskan oleh
faktor genetik, infeksi virus (mis. hepatitis akut A atau B, virus
Epstein-Barr) dan bahan kimia (mis. interferon, melatonin, alfa metildopa,
oksifenisatin, nitrofurantoin, asam tienilik). Reseptor asialoglikoprotein dan
sitokrom mono-oksigenase P-450 IID6 ditengarai sebagai pencetus autoantigen
(Raghuraman, 2002).
Pendapat
terbaru tentang mekanisme kerusakan hati autoimun adalah secara tak langsung
melibatkan interaksi antara CD4+ T limfosit dengan suatu self-antigenic peptide
(Sukerek, 2002).
Beberapa
penderita secara genetik rentan untuk menjadi hepatitis autoimun. Kondisi ini
berhubungan dengan komplemen alel C4AQO dan HLA halotipe B8, B14, DR3, DR4 dan
Dw3. Delesi gen C4A dihubungkan dengan timbulnya hepatitis autoimun pada usia
muda. Penderita dengan HLA DR3 positif lebih sering menjadi penyakit agresif,
terjadi pada usia yang lebih muda, kurang responsive terhadap terapi medik
sehingga lebih sering memerlukan tranplantasi hati. Sedangkan pada penderita
dengan HLA DR4 positif lebih sering timbul dengan manifestasi ekstrahepatik
(Raghuraman, 2002;Sukerek, 2002).
Secara
genetik juga dilaporkan tentang defiensi C4 parsial. C4 diketahui berperan pada
netralisasi virus. Kegagalan mengeliminasi virus dapat menyebabkan terjadinya
reaksi imun melawan antigen pada sel yang terinfeksi. Diantara virus-virus yang
dapat mencetuskan reaksi ini adalah rubella, Epstein-Barr dan hepatitis A,B dan
C (Sukerek, 2002).
Obat-obatan
juga dapat mencetuskan terjadinya hepatitis autoimun. Namun tak satupun obat
yang diidentifikasi sebagai penyebab hepatitis autoimun (Manns, 1999).
D. GEJALA KLINIS
Hepatitis autoimun memiliki kecenderungan
menimbulkan ciri-ciri yang berbeda pada tiap orang yang menderitanya. Pada
mereka yang mengalami gejala ringan, kecil kemungkinannya berkembang menjadi
sirosis hati. Pada penderita hepatitis autoimun yang berat, sekitar 40 % penderita
mengalami kematian dalam waktu 6 bulan jika tidak diobati. Untungnya, keadaan
yang parah hanya terjadi 20 % dari kasus yang terjadi. Penderita yang mengalami
hepatitis autoimun yang ringan biasanya akan sembuh spontan. Sedangkan mereka
yang mengalami perkembangan menjadi sirosis hati akan menimbulkan komplikasi
yang lain yaitu kanker hati.
Gejala yang ditimbulkannya mirip dengan gejala hepatitis
virus kronis. Gejala yang timbul perlahan-lahan atau mendadak tiba-tiba yang
awalnya mirip hepatitis akut. Hepatitis autoimun ini terbagi atas beberapa
kelompok yang berbeda, yaitu:
1. Hepatitis autoimun tipe I, mirip
penyakit lupus. Pada pemeriksaan darah ditemukan ANA dan peningkatan kadar
globulin. Sering dijumpai pada wanita muda hingga usia pertengahan dengan
keluhan lesu, hilangnya nafsu makan, jerawat, nyeri sendi dan kuning.
2. Hepatitis autoimun tipe II, biasanya pada anak-anak dan sering dijumpai pada penduduk di daerah Mediterania. Pada kelainan tipe ini, dijumpai anti-LKM antibodi pada tubuh penderita. Hepatitis autoimun tipe II terbagi lagi atas 2 golongan, yang pertama berdasarkan reaksi autoimun ( IIa ) dan yang lainnya (IIb) adalah reaksi autoimun yang berkaitan dengan hepatitis C.
a. Tipe IIa banyak ditemukan pada
wanita muda. Pada kelainan ini ditemukan peningkatan kadar globulin di dalam
darah penderita dan memberikan respon yang baik terhadap steroid.
b. Tipe IIb, tipe ini berkaitan dengan
infeksi hepatitis C ; cenderung terjadi pada pria-pria berusia lanjut dan
sering ditemukan di negara-negara di daerah Mediterania. Pada tipe ini, kadar
globulin darah normal dan memberikan respons yang baik terhadap interferon.
Selain itu ada beberapa gejala lainnya yang timbul pada wanita
muda penderita hepatitis autoimun, diantaranya adalah:
- jerawat.
- terhentinya siklus menstruasi(amenorea).
- nyeri sendi.
- pembentukan jaringan parut di paru-paru.
- peradangan kelenjar tiroid dan ginjal.
- anemia.
E. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah penting
untuk mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran awal
dapat hanya berupa keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga 34%
pasien tidak mengeluh apapun saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin
saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula ditemukan hepatomegali,
splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.
Tes
laboratorium untuk mendiagnosa dan memantau hepatitis dapat dilakukan
dengan cara:
·
USG abdomen
·
Autoimmune darah serologi penanda virus Hepatitis
·
Tes fungsi hati
·
Biopsi hati untuk memeriksa kerusakan
hati
·
Paracentesis jika cairan dalam abdomen
Andan
Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat
memberikan gambaran yang asimtomatis. Umumnya, pasien dengan HAI adalah
seorang perempuan, meski dalam kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan
pada lelaki. Mereka umumnya memiliki kadar
serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin
aminotransferase (SGPT) yang abnormal, meningkatnya kadar gamma
globulin, dan gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface
hepatitis atau sirosis dengan inflamasi ringan.
Gambaran lain dari HAI adalah adanya autoantibodi pada sirkulasi darah, hipergamaglobulinemia,
dan perubahan mikroskopis pada jaringan
hati berupa interfacehepatitis, infiltrasi sel plasma dan
regenerasi sel-sel hati rosettes.
Gambaran
Histologik
Tanda khas histologik (histologic hallmark) dari HAI
adalah ditemukannya gambaran interface hepatitis atau dikenal
juga dengan sebutan nekrosis piecemeal. Istilah ini menggambarkan adanya
gangguan pada lempeng pembatas dari saluran portal oleh infiltrasi sel-sel
radang. Meski begitu, gambaran interface hepatitis ini tidak spesifik untuk
hepatitis autoimun karena dapat juga ditemukan pada hepatitis virus akut
ataupun kronik.
0 komentar:
Posting Komentar