Senin, 14 Mei 2012

hepatitis autoimun


PENDAHULUAN

Hepatitis autoimun merupakan keadaan yang kronis. Menyebabkan kerusakan jaringan hati yang parah (karena adanya antibodi yang menyerang dan menghancurkan sel-sel hati) disertai peradangan yang cenderung berkembang menjadi sirosis dan akhirnya menyebabkan kegagalan fungsi hati.
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Penyakit ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
Hepatitis autoimun dapat terjadi pada mereka yang memiliki cacat bawaan pada sistem kekebalan tubuhnya  yang dipicu oleh bahan-bahan kimia atau virus. Bahan-bahan kimia dan virus merupakan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pada keadaan ini, sistem kekebalan penderita bereaksi tidak normal terhadap zat-zat kimia dan virus, akibatnya reaksi kekebalan yang timbul rusak sehingga terjadi penyerangan terhadap sel-sel hati sendiri.

       A.    DEFINISI
Hepatitis autoimun (AIH), yang dahulu disebut sebagai lupoid hepatitis atau hepatitis kronik autoimun, adalah suatu gangguan hati kronis nekroinflamatori yang belum diketahui penyebabnya, dengan karakteristik secara histologik berupa infiltrasi sel mononuklear di saluran portal dan secara serologis adanya autoantibodi terhadap antigen hati yang spesifik dan yang tidak spesifik serta adanya peningkatan kadar immunoglobulin G (igG) serum (Krawitt, 1996;Sukerek, 2002).
Hepatitis autoimun merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya kematian sel hati, pembentukan jaringan ikat yang disertai pembentukan benjolan. Hal ini dapat menyebabkan gangguan aliran darah ke hati dan mengganggu fungsi hati. Sistem kekebalan tubuh biasanya membuat antibodi untuk menyerang bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada hepatitis autoimun,sistem kekebalan tubuh membuat antibodi terhadap sel-sel hati yang dapat menyebabkan kerusakan dan sirosis.

      B.     ANGKA PREVALENSI
 Penyakit hepatitis autoimun termasuk penyakit yang jarang ditemukan. Di Amerika Serikat, frekuensi hepatitis autoimun diantara penderita dengan penyakit hati kronis berkisar 11-23 %. Di Eropa Barat prevalensinya diperkirakan 0,1-1,2 kasus per 100.00 individu, dengan insidens 0,69 kasus per 100.000 orang per tahun. Di jepang, prevalensinya 0,08-0,015 per 100.000 orang. Rasio insidens dari AIH-1 dan AIH-2 adalah 1,5-2 : 1 di Eropa dan Kanada, dan 6-7 : 1 di Amerika Utara dan Selatan serta Jepang.
Penyakit ini paling sering terjadi pada leluhur orang kulit putih di Eropa utara yang memiliki frekuensi yang tinggi untuk petanda HLA-DR3 dan HLA-DR4. Pada orang Jepang petanda HLA-DR3 mempunyai frekuensi yang rendah, dan hepatitis autoimun lebih berhubungan dengan HLA-DR4 (McFarlane, 1998; Raghuraman UV, 2002).
 Wanita lebih sering terkena daripada pria (70-80 % penderita adalah wanita). Terjadi pada dewasa dan anak-anak dengan puncak insidens pada usia 10-20 tahun dan pada usia 45-70 tahun. Separuh dari individu yang terkena lebih muda dari usia 20 tahun dengan puncak insidens pada gadis yang belum menstruasi (premenstrual). Hepatitis autoimun juga dilaporkan terjadi pada bayi. Penderita dengan AIH-2 cenderung lebih muda dan 80 % nya adalah anak-anak (Raghuraman UV, 2002; Sukerek HH, 2002).
 Sekarang hepatitis autoimun dikenal sebagai kelainan multisistem yang dapat terjadi pada wanita atau pria pada semua umur. Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan penyakit hati yang lain (mis. hepatitis virus kronik), juga bisa dicetuskan oleh virus hepatitis (misal hepatitis A) dan bahan kimia (misal minosiklin) (Raghuraman UV,2002).

     C.    PATOFISIOLOGI
 Penyebab dari hepatitis autoimun tidak diketahui. Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus terjadinya proses autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri, bahan kimia, obat, dan faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai pencetus hepatitis autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D, herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr(Manns,1995;Manns,1999)
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Suatu model spekulatif dari imunopatogenesis hepatitis autoimun menunjukkan bahwa secara genetik, infeksi virus pada hati yang bersifat hepatotropik atau non-hepatotropik mengakibatkan suatu respon sel T yang menyebabkan hepatotoksisitas dan menstimulasi respon sel B terhadap virus-mediated surface neoantigens. Selanjutnya NK cells dan MHC-unrestricted CD8+ killer cells akan mengenali dan membunuh autoantibody-coated liver cells oleh antibody-dependent cellular cytotoxicity (ADCC), sehingga terjadi apoptosis hepatosit (Mabee, 2000).
Bukti menyebutkan bahwa kerusakan hati pada penderita dengan hepatitis autoimun merupakan hasil dari serangan cell mediated autoimun. Serangan ini ditujukan pada hepatosit yang secara genetik mudah terpengaruh/rentan. Gambaran aneh dari human leukocyte antigen (HLA) kelas 2 pada permukaan hepatosit memfasilitasi presentasi sel hati normal dipilih untuk proses antigen sel. Aktivasi sel ini , secara bergiliran, menstimulasi ekspansi klonal dari autoantigen-sensitized cytotoxic T lymphocytes. T limfosit sitotoksik menginfiltrasi jaringan hati, mengeluarkan cytokines dan merusak sel hati (Raghuraman, 2002).
Penyebab dari gambaran aneh dari HLA masih belum jelas. Ini mungkin dicetuskan oleh faktor genetik, infeksi virus (mis. hepatitis akut A atau B, virus Epstein-Barr) dan bahan kimia (mis. interferon, melatonin, alfa metildopa, oksifenisatin, nitrofurantoin, asam tienilik). Reseptor asialoglikoprotein dan sitokrom mono-oksigenase P-450 IID6 ditengarai sebagai pencetus autoantigen (Raghuraman, 2002).
Pendapat terbaru tentang mekanisme kerusakan hati autoimun adalah secara tak langsung melibatkan interaksi antara CD4+ T limfosit dengan suatu self-antigenic peptide (Sukerek, 2002).
Beberapa penderita secara genetik rentan untuk menjadi hepatitis autoimun. Kondisi ini berhubungan dengan komplemen alel C4AQO dan HLA halotipe B8, B14, DR3, DR4 dan Dw3. Delesi gen C4A dihubungkan dengan timbulnya hepatitis autoimun pada usia muda. Penderita dengan HLA DR3 positif lebih sering menjadi penyakit agresif, terjadi pada usia yang lebih muda, kurang responsive terhadap terapi medik sehingga lebih sering memerlukan tranplantasi hati. Sedangkan pada penderita dengan HLA DR4 positif lebih sering timbul dengan manifestasi ekstrahepatik (Raghuraman, 2002;Sukerek, 2002).
Secara genetik juga dilaporkan tentang defiensi C4 parsial. C4 diketahui berperan pada netralisasi virus. Kegagalan mengeliminasi virus dapat menyebabkan terjadinya reaksi imun melawan antigen pada sel yang terinfeksi. Diantara virus-virus yang dapat mencetuskan reaksi ini adalah rubella, Epstein-Barr dan hepatitis A,B dan C (Sukerek, 2002).
Obat-obatan juga dapat mencetuskan terjadinya hepatitis autoimun. Namun tak satupun obat yang diidentifikasi sebagai penyebab hepatitis autoimun (Manns, 1999).

      D.    GEJALA KLINIS
 Hepatitis autoimun memiliki kecenderungan menimbulkan ciri-ciri yang berbeda pada tiap orang yang menderitanya. Pada mereka yang mengalami gejala ringan, kecil kemungkinannya berkembang menjadi sirosis hati. Pada penderita hepatitis autoimun yang berat, sekitar 40 % penderita mengalami kematian dalam waktu 6 bulan jika tidak diobati. Untungnya, keadaan yang parah hanya terjadi 20 % dari kasus yang terjadi. Penderita yang mengalami hepatitis autoimun yang ringan biasanya akan sembuh spontan. Sedangkan mereka yang mengalami perkembangan menjadi sirosis hati akan menimbulkan komplikasi yang lain yaitu kanker hati.
Gejala yang ditimbulkannya mirip dengan gejala hepatitis virus kronis. Gejala yang timbul perlahan-lahan atau mendadak tiba-tiba yang awalnya mirip hepatitis akut. Hepatitis autoimun ini terbagi atas beberapa kelompok yang berbeda, yaitu:
    1. Hepatitis autoimun tipe I, mirip penyakit lupus. Pada pemeriksaan darah ditemukan ANA dan peningkatan kadar globulin. Sering dijumpai pada wanita muda hingga usia pertengahan dengan keluhan lesu, hilangnya nafsu makan, jerawat, nyeri sendi dan kuning.

    2. Hepatitis autoimun tipe II, biasanya pada anak-anak dan sering dijumpai pada penduduk di daerah Mediterania. Pada kelainan tipe ini, dijumpai anti-LKM antibodi pada tubuh penderita. Hepatitis autoimun tipe II terbagi lagi atas 2 golongan, yang pertama berdasarkan reaksi autoimun ( IIa ) dan yang lainnya (IIb) adalah reaksi autoimun yang berkaitan dengan hepatitis C.
a.       Tipe IIa banyak ditemukan pada wanita muda. Pada kelainan ini ditemukan peningkatan kadar globulin di dalam darah penderita dan memberikan respon yang baik terhadap steroid.
b.      Tipe IIb, tipe ini berkaitan dengan infeksi hepatitis C ; cenderung terjadi pada pria-pria berusia lanjut dan sering ditemukan di negara-negara di daerah Mediterania. Pada tipe ini, kadar globulin darah normal dan memberikan respons yang baik terhadap interferon.
Selain itu ada beberapa gejala lainnya yang timbul pada wanita muda penderita hepatitis autoimun, diantaranya adalah:
  • jerawat.
  • terhentinya siklus menstruasi(amenorea).
  •  nyeri sendi.
  •  pembentukan jaringan parut di paru-paru.
  •  peradangan kelenjar tiroid dan ginjal.
  • anemia.


       E.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah penting untuk mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran awal dapat hanya berupa keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga 34% pasien tidak mengeluh apapun saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula ditemukan hepatomegali, splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.
Tes laboratorium untuk mendiagnosa dan memantau hepatitis dapat dilakukan dengan cara:
·         USG abdomen
·         Autoimmune darah serologi penanda virus Hepatitis
·         Tes fungsi hati
·         Biopsi hati untuk memeriksa kerusakan hati
·         Paracentesis jika cairan dalam abdomen Andan
Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat memberikan gambaran yang asimtomatis. Umumnya, pasien dengan HAI adalah seorang perempuan, meski dalam kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan pada lelaki. Mereka umumnya memiliki kadar serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin aminotransferase (SGPT) yang abnormal, meningkatnya kadar gamma globulin, dan gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface hepatitis atau sirosis dengan inflamasi ringan.
Gambaran lain dari HAI adalah adanya autoantibodi pada sirkulasi darah, hipergamaglobulinemia, dan perubahan mikroskopis pada  jaringan hati berupa  interfacehepatitis, infiltrasi sel plasma dan regenerasi sel-sel hati rosettes.
Gambaran Histologik
Tanda khas histologik (histologic hallmark) dari HAI adalah ditemukannya gambaran interface hepatitis atau dikenal juga dengan sebutan nekrosis piecemeal. Istilah ini menggambarkan adanya  gangguan pada lempeng pembatas dari saluran portal oleh infiltrasi sel-sel radang. Meski begitu, gambaran interface hepatitis ini tidak spesifik untuk hepatitis autoimun karena dapat juga ditemukan pada hepatitis virus akut ataupun kronik.

0 komentar:

Posting Komentar