Kamis, 10 November 2011

NAPZA



 NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif. Menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1977, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997, yang dimaksud dengan Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Zat aditif sendiri merupakan obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus yang jika dihentikan dapat memberi efek lelah yang luar biasa atau rasa sakit luar biasa.


A.    Obat-obatan yang sering digunakan oleh pecandu
1.         Morfin dan Turunannya
2.         Kokain
3.         Ganja atau mariyuana
4.         Obat-obatan golongan psikotomimetika
5.         Amfetamin
6.         MDMA atau Ekstasi
7.         Jamur psilocybe
8.         LSD atau Lysergic Acid Diethylamide
9.         DMT atau Dimethyltryptamine
10.     DET atau Diethyltryptamine
11.      STP, DOM, atau 2,5-dimethoxy-4-methylamphetamine
12.     Bufotenine atau dimethyl serotonin
13.     Ibogaine
14.     Harmine dan Harmaline
15.     Ditran
16.     Mescale atau Peyote

B.   Gejala ketergantungan obat
Biasanya seorang pecandu akan menunjukkan tanda-tanda ketika  telah kecanduan akan obat-obatan ini. Berikut beberapa tanda-tandanya:
1.      Gelisah
2.      Insomnia/sulit tidur
3.      Keringat berlebih
4.      Bulu kuduk berdiri
5.      Pilek
6.      Kram perut atau diare
7.      Pupil mata membesar
8.      Mual dan ingin muntah
9.      Peningkatan tekanan darah, nadi dan suhu tubuh
10.  Mata terlihat redup
11.  Mata berair
12.  Menggigil kedinginan
13.  Tidak berani memnmyentuh air

C.   Pemeriksaan laboratorium
Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pengguna narkoba. Berikut penjelasannya.
I.          Tes urin
Dapat dilakukan tes urin pada seseorang untuk mengetahui apakah dia pemakai atau bukan. Mengapa dilakukan tes urin? Karena urin mengandung kadar metabolit dalam jumlah tinggi dan pengambilan sampel mudah dan tidak perlu menyakiti pasien.
TEST STRIP/STICK
1.      Biarkan sampel dan reagen dalam suhu ruangan.
2.      Reagen dibuka sesaat sebelum dikerjakan
3.      Celupkan tes strip ke dalam urin sample. Jangan melebihi tanda batas maksimal pada strip.
4.      Baca hasil 3-5 menit pertama dan 3-5 menit kedua

TEST CARD
1.      Biarkan sampel dan reagen dalam suhu ruangan.
2.      Reagen dibuka sesaat sebelum dikerjakan
3.      Teteskan 3-5 tetes urin sample pada zona sample
4.      Baca hasil 3-5 menit pertama dan 3-5 menit kedua

II.                Tes darah
Selain dilakukan pemeriksaan urin, dapat dilakukan tes darah. Pada pengguna narkoba, akan didapat hasil SGOT dan SGPT yang meningkat karena biasanya pemakaina narkoba dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya hepatomegali.

III.             Menggunakan sampel rambut
Cara seperti ini dinilai lebih mantap ketimbang tes urin untuk memastikan seseorang pecandu atau tidak. Ada beberapa kelebihan dari analisis rambut bila dibandingkan dengan tes urin. Salah satunya adalah narkoba dan metabolisme narkoba tetap akan berada dalam rambut secara abadi dan mengikuti pertumbuhan rambut yang berlangsung sekitar 1 inchi per 60 hari. Sedangkan, kandungan narkoba dalam urin segera berkurang dan menghilang dalam waktu singkat.

D.   Terapi ketergantungan obat
1.      Rehabilitasi

·         Model Terapi Moral

          Model ini sangat umum dikenal oleh masyarakat serta biasanya dilakukan dengan pendekatan agama/moral yang menekankan tentang dosa dan kelemahan individu. Model terapi seperti ini sangat tepat diterapkan pada lingkungan masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai keagamaan dan moralitas di tempat asalnya, karena model ini berjalan bersamaan dengan konsep baik dan buruk yang diajarkan oleh agama. Maka tidak mengherankan apabila model terapi moral inilah yang menjadi landasan utama pembenaran kekuatan hukum untuk berperang melawan penyalahgunaan narkoba.

·         Model Terapi Sosial

         Model ini memakai konsep dari program terapi komunitas, dimana adiksi terhadap obat-obatan dipandang sebagai fenomena penyimpangan sosial (social disorder). Tujuan dari model terapi ini adalah mengarahkan perilaku yang menyimpang tersebut ke arah perilaku sosial yang lebih layak. Hal ini didasarkan atas kesadaran bahwa kebanyakan pecandu narkoba hampir selalu terlibat dalam tindakan a-sosial termasuk tindakan kriminal. Kelebihan dari model ini adalah perhatiannya kepada perilaku adiksi pecandu narkoba yang bersangkutan, bukan pada obat-obatan yang disalahgunakan. Prakreknya dapat dilakukan melalui ceramah, seminar, dan terutama terapi berkelompok (encounter group). Tujuannya tidak lain adalah melatih pertanggung-jawaban sosial setiap individu, sehingga kesalahan yang diperbuat satu orang menjadi tanggung-jawab bersama-sama. Inilah yang menjadi keunikan dari model terapi sosial, yaitu memfungsikan komunitas sedemikian rupa sebagai agen perubahan (agent of change).

·         Model Terapi Medis

        Model ini berakar dari beberapa konsep dalam teori fisiologis atau metabolisme, yang memandang perilaku adiksi obat sebagai sesuatu yang terjadi karena faktor etiologis atau keturunan. Ada dua macam model terapi yang berdasarkan pada konsep ini.
Pertama, yaitu konsep menyembuhkan kecanduan obat dengan menggunakan obat lain. Contohnya adalah model terapi metadon untuk pecandu opiat. Terapi ini didasarkan pada sebuah teori dari Dole dan Nyswander yang menyatakan bahwa kecanduan opiat adalah hasil dari defisiensi metabolik, sehingga harus diluruskan dengan memberikan metadon.
Kedua, yaitu konsep menyembuhkan kecanduan obat dengan cara memandang adiksi obat sebagai suatu penyakit. Dari pendekatan teori biologis ini lahirlah konsep "disease" yang apabila diterjemahkan artinya adalah "penyakit", atau bisa juga diartikan sebagai rasa tidak nyaman. Terapi untuk konsep "penyakit" ini sangat berbeda dengan terapi yang melihat perilaku adiksi sebagai penyimpangan sosial. Dalam terapi ini seorang pecandu dianggap sebagai pasien, dimana mereka akan dibina dan diawasi secara ketat oleh tim dokter. Kelemahan dari terapi ini adalah sifatnya yang "keras", dimana pasien direhabilitasi dengan konsep alergi. Karena pasien mempunyai alergi terhadap narkoba, maka mereka tidak boleh mengkonsumsinya seumur hidup.
Menyadari keterbatasan ini, maka konsep adiksi sebagai penyakit sangat mementingkan perkumpulan (fellowship) dari mereka yang mempunyai penyakit kecanduan narkoba untuk menjadi pendukung satu sama lain.

·         Model Terapi Psikologis

         Model ini diadaptasi dari teori psikologis Mc Lellin, dkk yang menyebutkan bahwa perilaku adiksi obat adalah buah dari emosi yang tidak berfungsi selayaknya karena terjadi konflik, sehingga pecandu memakai obat pilihannya untuk meringankan atau melepaskan beban psikologis itu. Model terapi ini mementingkan penyembuhan emosional dari pecandu narkoba yang bersangkutan, dimana jika emosinya dapat dikendalikan maka mereka tidak akan mempunyai masalah lagi dengan obat-obatan. Jenis dari terapi model psikologis ini biasanya banyak dilakukan pada konseling pribadi, baik dalam pusat rehabilitasi maupun dalam terapi pribadi.

·         Model Terapi Budaya

         Model ini menyatakan bahwa perilaku adiksi obat adalah hasil sosialiasi seumur hidup dalam lingkungan sosial atau kebudayaan tertentu. Dalam hal ini, keluarga seperti juga lingkungan dapat dikategorikan sebagai "lingkungan sosial dan kebudayaan tertentu".
Dasar pemikirannya adalah, bahwa praktek penyalahgunaan narkoba oleh anggota keluarga tertentu adalah hasil akumulasi dari semua permasalahan yang terjadi dalam keluarga yang bersangkutan. Sehingga model ini banyak menekankan pada proses terapi untuk kalangan anggota keluarga dari para pecandu narkoba tersebut.

2.      Refresif
  Berbentuk tindakan hukumsecara tegas. Terutama terhadap setiap pelaku penyalahgunaan narkoba wajib dilaporkan ke aparat penegak hukum.








DAFTAR PUSTAKA


drs. sartono. 2002. Racun dan Keracunan. Jakarta: Widya Medika.

0 komentar:

Posting Komentar