Rabu, 28 November 2012

salmonella


PENDAHULUAN

Salmonella adalah agen penyebab bermacam-macam infeksi, mulai dari gastroenteritis yang ringan sampai dengan demam tifoid yang berat disertai bakteremia. Salmonellosis digunakan untuk mempertelakan infeksi yang disebabkan pleh anggota marga Salmonella. Kelompok ini adalah kelompok batang gram-negatif yang besar sekali yang dapat dibedakan dari flora normal usus dengan cara criteria biokimia dan antigen.
Salmonellosis pada manusia dapat dibagi menjadi 4 sindrome. Empat sindrom tersebut yaitu gastroenteritis atau yang dikenal sebagai keracunan makanan, demam tifoid, bakteremia (septikimia), carrier yang asimptomatik.
Berkembangnya penyakit ini di Indonesia berkaitan erat dengan memburuknya kondisi sosial ekonomi, fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat (sarana dan prasarana) yang kurang memadai, serta meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai tempat tinggal. Selain itu factor yang memiliki pengaruh besar yaitu daya tahan tubuh yang lemah, virulensi dan jumlah bakteri yang juga memegang peranan penting dalam terjadinya infeksi bakteri.
 


ISI
A.  DEFINISI
Demam Tifoid atau demam akut yang disebabkan oleh kuman salmonella typhi. Penyakit ini dapat pula disebabkan oleh salmonella enteritidis bioserotip paratyphi A dan salmonella enteritidis serotip paratyphi B.
Tifoid berasal dari bahasa Yunani yang berarti smoke, karena terjadi penguapan panas tubuh serta gangguan kesqdaran disebabkan demam yang tinggi.

Salmonella enterica
Kingdom        : Eubacteria
Filum              :Proteobacteria
Kelas              : Gammaproteobacteria
Ordo               : Enterobacteriales
Family                        : Enterobacteriaceae
Genus                        : Salmonella
Spesies          : S.enterica

B.   Morfologi

Kuman berbentuk batang, tidak berspora, pada pewarnaan gram bersifat negative Gram, ukuran 1-3,5 um x 0,5-0,8 um, besar koloni rata-rata 2-4 mm, mempunyai flagell peritrikh kecuali Salmonella pullorum dan Salmonella gallinarum.

C.   Epidemiologi

Salmonellosis, terutama demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Angka kesakitan demam tifoid di Indonesia masih tinggi, berkisar antara 0,7-1% (data dari Depkes, 1985). Makanan dan minuman yang terkontaminasi merupakan mekanisme transminasi kuman Salmonella, termasuk S. typhi. Khususnya S.typhi,  carier manusia adalah sumber infeksi. S.typhi biasa berada dalam es, air, debu, sampah kering, yang bila organisme ini masuk kedalam vehicle yang cocok (daging, kerang, dan sebagainya) akan berkembang baik mencapai dosis infektif.

D.   Cara Penularan

Demam tifoid biasanya menular melalui makanan yang terkontaminasi S.typhi. seseorang bisa menjadi sakit bila tertelan organisme ini sebanyak 50% orang dewasa menjadi sakit bila menelan sebanyak 107 kuman. Dosis dibawah 105 tidak menimbulkan penyakit. .

E.   Gejala klinik

Penularan melalui makanan yang terkontaminasi S.typhi. Organisme yang tertelan tadi masuk kedalam lambung untuk mencapai usus halus. Asam lambung tampaknya kurang berpengaruh terhadap kehidupannya. Organisme ini secara tepat mencapai usus halus bagian proksimal, melakukan penetrasi kedalam lapisan epitel mukosa. S.typhi telah sampai dikelenjar getah bening regional/KGB masantrium dan kemudian terjadi bakteremia dan kuman sampai dihati, limpa, juga sumsum tulang dan ginjal. S. typhi segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut. Disini kuman berkembang biak dan memperbanyak diri. Inilah karakteristik dari S.typhi yang akan menentukan perjalanan penyakit yang ditimbulkannya.
Setelah periode multiplikasi intraseluler, organisme akan dilepaskan lagi ke dalam aliran darah, terjadi bakteremia kedua, pada sat ini penderita akan mengalami panas tinggi. Bakteremia ini menyebabkan dua kejadian kritis yaitu masuknya kuman kedalam kantung empedu dan plaque Peyer. Bila dengan masuknya kuman tadi terjadi infeksi radang yang hebat sekali maka akan terjadi nekrosis  jaringan yang secara klinik ditandai dengan masuknya kuman tadi ditandai dengan kholesistisis nekrotikans, dan perdarahanporfasi usus. Masuknya kuman di kantung empedu dan plaque Peyer menyebabkan kultur tinja positif, dan dapat menyebabkan terjadinya carrier kronik.
Histopatologi penyakit demam tifoid berhubungan langsung dengan proliferasi sel-sel mononukleus (RES), yang dapat dilihat sebagai hiperplasi plaque Peyer. KGB mesentrium,hati dan limpa. Fokal nekrosis terjadi di hati, becak-bercak radang dikantung empedu, paru-paru, sumsum tulang.
Masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2 minggu, dapat lebih singkat yaitu 3 hari atau lebih panjang selama 2 bulan. Gejala klasik penyakiit ini adalah demam tinggi pada pada minggu kedua dan ke tiga sakit ,biasanya dalam 4 minggu simtom telah hilang,meskipun kadang-kadang bertambah lebih lama.Gejala lain yang sering ditemukan adalah anoreksia,malaise,nyeri otot,sakit kepala,batuk dan konstipasi. Selain dapat dijumpai adanya bradikardiarelatif,pembesaran hati dan limpa,bintik Rose sekitar umbilikus.
Komplikasi yang terjadi antara lain komplikasi pada system saraf seperti ensefalitis, ensefalomielitis; gangguan psikiatri, miokarditis akut, hepatitis, osteomielitis, arthritis septic, juga komplikasi pada usus berupa perdarahan dan perforasi.  Relapse merupakan komplikasi yang umumnya terjadi setelah 1 sampai 3 minggu pengobatan dihentikan. 
F.    Diagnosis Laboratoium
Ada metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid yakni;1.diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman,2.diagnosis serologic dan 3.diagnosis klinik.
            Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%penderita yang tidak diobati ,kultur darahnya possitif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastic setelah pemakaian obat antibiotik, dimana hasil positif menjadi 40%.Meskipun demikian kultur sumsum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90%positif. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun,tetapi kultur tinja dan kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positif pada minggu ke tiga dan keempat.
                Diagnosis serologic tergantung pada antibiotik yang timbul terhadap antigen O dan H,yang dapat dideteksi dengan reaksi aglutinasi (tes Widal). Antibiotik terhadap antigen O dari grup D timbul dalam minggu pertama sakit dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga dan keempat yang akan menurun setelah 9 bulan sampai 1 tahun.Titer agglutinin 1/200 atau kenaikan titer lebih dari 4 kali berarti tes Widal positif,hal ini menunjukan adanya infeksi akut S.typhi.
           Tetapi peninggian titer agglutinin Obisa juga disebabkan oleh antigen O kuman Salmonella lain dari grup D yang memiliki persamaan faktor 9 dan 12 seperti pada S.typhi. Adanya peninggian titer antibiotic terhadap antigen D yang berasal dari flagel  S.typhi menambah spesifisitas hasil tes Widal. Antibodi terhadap antigen flagel meninggi titernya setelah minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ke-4 sampai ke-6,dan titernya tetap tinggi selama bertahun-tahun. Ditemukannya titerantibodi flagel yang tinggi tidak berarti ada infeksi yang akut. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan yang mempengaruhi hasil tes Widal adalah;stadium penyakit, vaksinasi ,reaksi anamnestik, daerah yang endemis serta pengobatan.
            Amfisilin dan kloramfenikol adalah antibiotika yang paling nhampir sembuh mungkin tetap menjadi pembawa untuk jangka waktu lama dan menghilangkan organisme dari mereka kadang-kadang sangat sukar.
G.   Pencegahan
Pengobatan antibiotika yang efektif dapat mengurangi  angka  kematian (di Amerika angka kematian turun menjadi 1% bahkan kurang).
        Antibiotika khloramfenikol masih dipakai  sebagai obat standar, dimana efektivitas obat-obat lain masih dibandingkan terhadapnya.Untuk strain kuman yang sensitive terhadap khloramfenikol ,antibiotika ini memberikan efek klinis paling baik dibandingkan  obat lain.Perlu diketahui khloramfenikol mempunyai
       Obat-obat lain seperti ampisilin,amoksisilin dan trimetoprim-sulfametoksasole dapat dipergunakan untuk  pengobatan demam tifoid dimana strain  kuman penyebab telah resisten terhadap khloramfenikol,selain bahwa obat-obat tersebut kurang toksik dibandingkan khloramfenikol.
         Imunisasi dengan vaksin monovalen kuman  S.typhi  memberikan proteksi yang cukup baik.Vaksin akan merangsang pembentukan  serum antibody terhadap antigen Vi,O dan H.Dari percobaan pada sukarelawan ternyata antibody terhadap antigen H memberikan proteksi terhadap S.typhi ,tetapi tidak demikian   halnya antibody Vi dan O. 

Minggu, 18 November 2012

angka peroksida pada minyak goreng


 Minyak goreng merupakan medium penggoreng bahan makanan yang berfungsi sebagai penghantar panas, penambah rasa gurih dan menambah nilai kalori bahan pangan. Sebagai penghantar panas minyak akan mengalami pemanasan yang menyebabkan perubahan fisika-kimia sehingga berpengaruh terhadap minyak tersebut dan bahan yang digoreng (Djatmiko dan Enie, A.B., 1985). Menggoreng bahan pangan merupakan metoda pemasakan bahan pangan (Ketaren, 1986).
 Kerusakan minyak selama proses penggorengan akan mempengaruhi mutu dan nilai dari minyak dan bahan yang digoreng. Pada minyak yang rusak terjadi proses oksidasi, polimerisasi dan hidrolisis. Proses tersebut menghasilkan peroksida yang bersifat toksik dan asam lemak bebas yang sukar dicerna oleh tubuh (Ketaren, 1986).
 Senyawa polimer yang dihasilkan akibat pemanasan yang berulang-ulang dapat menimbulkan gejala keracunan antara lain iritasi saluran pencernaan, pembengkaan organ tubuh, diare, kanker dan depresi pertumbuhan. Selain itu akan timbul rasa tengik akibat oksidasi yang pengaruhnya tidak diharapkan pada bahan pangan yang digoreng. Pengaruh tersebut antara lain mengakibatkan kerusakan gizi, tekstur dan cita rasa (Muchtadi, 1989).
 Indikator kerusakan minyak antara lain adalah angka peroksida dan asam lemak bebas. Angka peroksida menunjukkan banyaknya kandungan peroksida di dalam minyak akibat proses oksidasi dan polimerisasi. Asam lemak bebas menunjukkan sejumlah asam lemak bebas yang dikandung oleh minyak yang rusak, terutama karena peristiwa oksidasi dan hidrolisis (Sudarmadji, 1982).

 Penentuan angka peroksida. Ke dalam erlenmeyer 30 mL dicampurkan asam asetat glasial dan kloroform (3:2), kemudian sampel minyak 5 g dimasukkan ke dalam larutan tersebut. Selanjutnya ditambahkan KI jenuh 0,5 mL dan dikocok sampai jernih. Setelah 2 menit dari penambahan KI ditambah 30 mL akuades. Iod yang dibebaskan dititrasi dengan thiosulfat 0,01N. Pengerjaan blanko dengan cara yang sama hanya tidak menggunakan sampel minyak.
Diketahui bahwa frekuensi menggoreng menyebabkan kenaikan suhu minyak pada akhir menggoreng. Hal ini disebabkan minyak dipanaskan akan terputus ikatan rantai karbonnya, sehingga titik asam minyak menurun. Keadaan ini menyebabkan penerimaan panas oleh minyak menjadi lebih cepat sehingga waktu yang dibutuhkan saat minyak mulai dipanaskan hingga mencapai titik asap menjadi lebih cepat pada frekuensi menggoreng berikutnya. Menurut Winarno(1992) radiasi radiasi energi tinggi, energi panas, katalis logam atau enzim dapat menyebabkan lemak/minyak mudah pecah menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Sedangkan titik didih dari asam-asam lemak akan semakin meningkat dan bertambah panjangnya rantai karbon asam lemak tersebut.
Frekuensi menggoreng mengakibatkan perubahan sifat fisika minyak, minyak menjadi lebih kental, terdapat bau dan rasa yang tidak diinginkan dan warna minyak menjadi lebih keruh.
 Terjadinya  kenaikan angka peroksida, berarti pada minyak tersebut terjadi reaksi dengan oksigen pada ikatan rangkap dan terjadi reaksi berantai yang terus menerus menyediakan radikal bebas yang menghasilkan peroksida lebih lanjut.

Daftar Pustaka
Gunawan dkk. 2003. Analisis Pangan: Penentuan Angka Peroksida dan Asam Lemak Bebas Pada Minyak Kedelai Dengan Variasi Menggoreng. JSKA.Vol.VI.No.3.Tahun.2003


Minggu, 11 November 2012

Identifikasi Pewarna



Warna merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan suatu produk. Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati aroma makanan. Warna dalam makanan dapat meningkatkan penerimaan konsumen tentang sebuah produk. Namun, penggunaan pewarna sintetis harus dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku karena dapat merugikan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring pewarna sintetis berbagai produk makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat. Metode analisis kualitatif yang digunakan adalah kromatografi kertas. Sementara analisis kuantitatif menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Pewarna sintetis yang terkandung dalam sebagian besar sampel yang dianalisis adalah pewarna yang memungkinkan penggunaannya untuk makanan oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI seperti sunset yellow, ponceau 4R, tartrazine, dan carmoisin.
Secara luas aditif pangan telah ada lebih dari 2.500 jenis yang digunakan untuk preservative (pengawet) dan pewarna (dye). Zat-zat aditif ini digunakan untuk mempertinggi nilai pangan (Mautinho et al, 2007) sebagai konsekuensi dari industrialisasi dan perkembangan proses teknologi pangan. Warna merupakan daya tarik terbesar untuk menikmati makanan setelah aroma. Pewarna dalam pangan dapat meningkatkan penerimaan konsumen terhadap suatu produk (Dixit et al, 1995). Oleh karena itu produsen pun berlomba menawarkan aneka produknya dengan tampilan yang menarik dan warna-warni. Jenis pewarna yang sering ditemukan dalam beberapa produk pangan diantaranya adalah Sunset Yellow dan Tartrazine. Tartrazine dan Sunset Yellow secara komersial digunakan sebagai zat aditif makanan, dalam pengobatan dan kosmetika yang sangat menguntungkan karena dapat dengan mudah dicampurkan untuk mendapatkan warna yang ideal dan juga biaya yang rendah dibandingkan dengan pewarna alami (Pedro et al, 1997)

 Di samping itu terdapat pula pewarna sintetis Rhodamin B ditemukan dalam produk pangan yang seharusnya digunakan untuk pewarna tekstil. Walaupun memiliki toksisitas yang rendah, namun pengkonsumsian dalam jumlah yang besar maupun berulang-ulang menyebabkan sifat kumulatif yaitu iritasi saluran pernafasan, iritasi kulit, iritasi pada mata, iritasi pada saluran pencernaan, keracunan, dan gangguan hati (Trestiati, 2003).

Analisa Kualitatif
Identifikasi zat pewarna sintetis pada analisa kualitatif menggunakan metode Kromatografi Kertas (Papper Chromatografhy) (SNI, 01-2895-1992).
Analisa Kromatografi Kertas
Prinsip uji bahan Pewarna Tambahan Makanan (BTP) adalah zat warna dalam contoh makanan/minuman diserap oleh benang wool dalam suasana asam dengan pemanasan kemudian dilakukan kromatografi kertas (Poltekes Bandung, 2002).
a. Memasukan ± 10 ml sampel cair atau 10 –25 gram sampel padatan ke dalam gelas piala 100 ml.
b. Diasamkan dengan menambahkan 5 ml Asam asetat 10 %.
c. Memasukan dan merendam benang wool ke dalam sampel tersebut.
d. Memanaskan dan mendiamkan sampai mendidih ( 10 menit).
e. Mengambil benang wool, dicuci dengan air dan dibilas dengan aquades.
f. Menambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wool yang telah dibilas tersebut.
g. Memanaskan benang wool sampai tertarik pada benang wool (luntur).
h. Benang wool dibuang, larutan diuapkan di atas water bath sampai kering.
i. Residu ditambah beberapa tetes metanol, untuk ditotolkan pada kertas kromatografi yang siap pakai.
j. Dieluasi dalam bejana dengan eluen sampai mencapai tanda batas.
k. Kertas kromatografi diangkat dan dibiarkan mengering.
l. Warna yang terjadi diamati, membandingkan Rf (Retardation factor) antara Rf sampel dan Rf standar.

Perhitungan :
            Jarak yang ditempuh komponen
Rf  =     ---------------------------------
Jarak yang ditempuh eluen

Analisa Kuantitatif
Pengukuran zat pewarna sintetik pada analisa kuantitatif menggunakan metode Spektrofotometri UV-Visibel (Depkes RI, 1995).
Preparasi Standart
1.      Deret standar tartrazine (0 ppm – 10 ppm)
Memipet masing-masing 1025,4 ± l, 2050,8 ± l dan 3076,3 ± l standar tartrazine 487,6 ppm ke dalam labutakar 100 ml. Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml kemudian dikocok. Deret standar ini mengandung 0,1, 2.5, 5, 7.5 dan 10 ppm tartrazine
2.      Standar Rhodamin B(0 ppm – 10 ppm)
Memipet masing-masing 1107,4 ± l dan 2214,8 standar tartrazine 451,5 ppm ke dalam labu takar 100 ml. Menambahkan aquades masing-masing menjadi 100 ml kemudian di kocok. Deret standar ini mengandung 0, 1, 2.5,5, 7.5 dan 10 ppm Rhodamin B
Preparasi Sampel
Metode preparasi sampel pada analisa kuantitatif secara Spektrofotometri menggunakan metode preparasi sampel pada analisa kualitatif (Kromatografi kertas), yaitu :
a. Memasukan ± 10 ml sampel cair atau 10– 25 gram sampel padatan ke dalam gelas piala 100 ml.
b. Diasamkan dengan menambahkan 5 ml asam asetat 10 %.
c. Memasukan dan merendam benang wool ke dalam sampel tersebut.
d. Memanaskan dan mendiamkan sampai mendidih (± 10 menit).
e. Mengambil benang wool, dicuci dengan air dan dibilas dengan aquades.
f. Menambahkan 25 ml amoniak 10 % ke dalam benang wool yang telah dibilas tersebut.
g. Memanaskan benang wool sampai warna yang tertarik pada benang wool luntur kembali.
h. Warna yang telah ditarik dari benang wool dan masih larut dalam amoniak kemudian di analisa dengan spektrofotometer UV-Visibel.

Perhitungan :                ppm kurva x ml ekstrak sampel x 1000 g x FP
Konsentrasi (ppm) =  -------------------------------------------------
1000 ml x g sampel
FP = Faktor Pengenceran